KOMUNITAS TATAR SUNDA | Promosikan Halaman Anda Juga
WILUJEUNG SUMPING DI BLOG SITE KOMUNITAS TATAR SUNDA TATAR SUNDA

Minggu, 05 September 2010

Bewara keur dulu-dulur di lembur baraya di desa

Alhamdulilah puji syukur ka mantena rehna gening masih aya keneh jalmi nu reueus kana budaya urang
dugika merjuangkeun supados di angkat deui tur di ronjatkeun deui budaya urang ;

hasil gempungan kekentong-kekentong sunda jeung ti pihak kapamarentahan
tiasa di tinggal tina peraturan di handap iyeu.
mudah-mudahan iyeu janten jalan kanggo urang sadaya kanggo ngaronjatkeun deui nilai seni
tur budaya urang sararea....
hatur nuhun khusus ka para kekentong nu aya di '' FORUM KOMUNITAS TATAR SUNDA ''
anu parantos merjuangkeun iyeu sadaya dugikeun tembus sareng di akuna ku pihak kapamarentahan
hasil rempugan di antawisna nyaete ;



PERATURAN BERSAMA
MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

NOMOR : 42 TAHUN 2009
NOMOR : 40 TAHUN 2009

TENTANG

PEDOMAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,

Menimbang            :    a.   bahwa kebijakan Pemerintah dalam melestarikan kebudayaan bangsa ditujukan ke arah pemenuhan hak-hak asasi manusia, pemajuan peradaban, persatuan dan kesatuan, serta kesejahteraan bangsa Indonesia sehingga, perlu dilakukan pelestarian kebudayaan;
                                     b.   bahwa pemerintah daerah berkewajiban melestarikan kebudayaan untuk memperkokoh jatidiri bangsa, martabat, dan menumbuhkan kebanggaan nasional serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia;
                                     c.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan:

Mengingat               :    1.   Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);
                                    2.   Undang-Undang Nomor   5          Tahun  1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Repub!ik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
                                    3.   Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun   2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220);
                                    4.   Undang-Undang Nomor   32 Tahun         2004 tentang Pemerintahan  Daerah (Lembaran Negara Repub!.h Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana teiah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor  12        lahur,   2008    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59. Tarnbahari Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

                                    5.   Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
                                    6.   Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3516);
                                    7.   Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 35 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3599);
                                    8.   Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
                                    9.   Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun   2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
                                    10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun  2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
                                    11. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention For The Safeguarding Of The Intangible Cultural  Heritage           (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda),      (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 81);
                                    12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 Tentang  Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat Dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah;
                                    13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 Tentang Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan           :    PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan:
(1)      Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusla balk bersifat fisik maupun non fisik yang diperoleh melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya.
(2)         Pelestarian adalah upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan yang dinamis.
(3)      Perlindungan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan kebudayaan berupa gagasan, perilaku, dan karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang
   diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam.
(4)         Pengembangan adalah upaya dalam berkarya, yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan gagasan, perilaku, dan karya budaya berupa perubahan, penambahan, atau penggantian sesuai tata dan norma yang berlaku pada komunitas pemiliknya tanpa mengorbankan keasliannya.
(5)         Pemanfaatan adalah upaya penggunaan karya budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan itu sendiri.
(6)         Pembinaan dan Pengawasan Umum adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dan/atau pemerintah kabupaten/kota untuk mewujudkan tercapainya pelestarian kebudayaan yang di laksanakan di daerah.
(7)         Pembinaan dan Pengawasan Teknis adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan sumber daya manusia pendukung kebudayaan.
(8)         Jatidiri Bangsa adalah karakter budaya dan karakter sosial yang menjadi ciri pengenal  bangsa tertentu.
(9)         Inventarisasi adalah upaya untuk mencatat informasi dan menyimpannya ke dalam buku catatan, katalog, database, atau sejenisnya.
(10)    Pendokumentasian adalah upaya menghimpun, mengolah, dan menata informasi kebudayaan dalam bentuk rekaman berupa tulisan, gambar, foto, film, suara, atau gabungan unsur-unsur ini     (multimedia).
(11)       Penyelamatan adalah upaya darurat atau terencana untuk melindungi karya budaya yang dimiliki individu, kelompok, atau suku bangsa dari ancaman kerusakan, kehilangan dan kernusnahan.
(12)       Penggalian adalah upaya mengungkap, memilah, dan mengkaji data, dan/atau informasi kebudayaan.
(13)       Penelitian adalah melakukan kajian terhadap aspek-aspek kebudayaan secara ilmiah oleh para peneliti bersertifikat atau unsur perguruan tinggi menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
(14)       Ekskavasi adalah kegiatan penelitian menggunakan metode pembedahan tanah untuk menemukan bukti kehidupan masa lalu.
(15)       Pihak asing adalah lembaga milik bangsa asing atau perorangan bukan warga Negara Indonesia.
(16)       Pengayaan adalah upaya untuk meningkatkan peran dan pemahaman kebudayaan  melalui proses eksperimentasi, modifikasi, dan adaptasi yang kreatif tanpa mengorbankan keasliannya.
(17)       Penyajian adalah upaya penyampalan informasi langsung kepada masyarakat untuk  mendorong terciptanya apresiasi terhadap kebudayaan.
(18)       Revitalisasi adalah upaya meningkatkan peran dan fungsi unsur-unsur budaya lama yang masih hidup di masyarakat dalam konteks baru dengan tetap mempertahankan keasliannya.
(19)       Transliterasi adalah pengalihan bahasa dari bahasa asli menjadi bahasa lain yang lebih umum dimengerti masyarakat.
(20)    Alih aksara adalah penulisan ulang naskah dari huruf aslinya menggunakan huruf yang lebih umum dimengerti masyarakat.
(21)    Pencatatan adalah kegiatan perekaman data secara tertulis (teks).
(22)    Inventarisasi adalah kegiatan pencatatan keseluruhan unsur kebudayaan yang ada di suatu wllayah, balk yang dimiliki oleh masyarakat maupun yang sudah tercatat  sebagai milik negara, bersifat fisik maupun non fisik.
(23)    Registrasi adalah kegiatan pencatatan objek-objek kebudayaan tertentu yang suda tercatat sebagai milik negara, balk fisik maupun non fisik.
(24)    Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan atau kegiatan sebagai ekspresi ikatan hubungan pribadi seseorang ataupun kelompok kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan, peribadatan, dan pengamalan budi luhur yang sumber ajarannya berasal dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
(25)    Organisasi kebudayaan dan/atau forum komunikasi kebudayaan adalah organisasi legal non pemerintah bervisi kebangsaan dengan tujuan melakukan pelestarian kebudayaan yang didirikan oleh Warga Negara Indonesia dan secara sukarela serta telah terdaftar di Pemerintah Daerah setempat, dan bukan merupakan afiliasi sayap organisasi sayap partai.
(26)    Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
(27)    Unit Pelaksana Teknis kebudayaan adalah unit kerja pusat di daerah atau unit kerja milik daerah yang melaksanakan tugas-tugas khusus.
(28)    Satuan Kerja Perangkat Daerah yang disingkat SKPD adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(29)    Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan adalah rencana umum perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan di tingkat nasional, regional, atau daerah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan mempertahankan jati diri bangsa.


BAB II
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 2

(1)      Pemerintah daerah melaksanakan pelestarian kebudayaan di daerah.
(2)      Pemerintah daerah dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.

Pasal 3

Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berkewajiban:
a.        berpedoman pada kebijakan nasional di bidang pelestarian kebudayaan;
b.        menyusun Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah;
c.        menumbuhkembangkan partisipasi dan kreativitas masyarakat berasaskan kegotongroyongan, kemandirian, dan keadilan.
d.        memupuk solidaritas hubungan bangsa dalam ikatan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara nyata dan terukur untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, sating  menghargai, dan menghormati;
e.        mengoordinasikan pelaksanaan pelestarian kebudayaan di perbatasan Negara tetangga;
f.         mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi; dan
g.        mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 4

(1)      Pelestarian kebudayaan di provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh SKPD yang membidangi kebudayaan.
(2)      Pelestarian kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan bersama-sama dengan Unit Pelaksana Teknis.

Pasal 5

Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berkewajiban:
a.      berpedoman pada kebijakan nasional dan provinsi di bidang pelestarian kebudayaan;
b.      menyusun Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah;
c.      menumbuhkembangkan partisipasi dan kreatifitas masyarakat berasaskan kegotongroyongan, kemandirian, dan keadilan;
d.      memupuk solidaritas hubungan bangsa dalam ikatan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara nyata dan terukur untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, saling menghargai, dan menghormati;
e.      mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota; dan
f.       mengoordinasikan kecamatan, kelurahan atau desa dalam penyelenggaraan pelestarian kebudayaan di daerah.

Pasal 6

(1)    Pelestarian kebudayaan di kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5  dilaksanakan oieh SKPD yang membidangi kebudayaan.
(2)    Pelestarian kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan bersama-sama dengan Unit Pelaksana Teknis.


BAB III
RUANG LINGKUP

Pasal 7

(1)    Perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2      ayat (2) meliputi aspek-aspek:
a.      kesenian;
b.      kepurbakalaan;
c.      kesejarahan;
d.      permuseuman;
e.      kebahasaan;
f.       kesusastraan;
g.      tradisi;
h.      kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
i.        kepustakaan;
j.        kenaskahan;dan
k.      perfilman.
(2)   Aspek-aspek kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai  norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kebudayaan.

Pasal 8

(1)    Kegiatan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a.      inventarisasi;
b.      pendokumentaslan;
c.      penyelamatan;
d.      penggalian;
e.      penelitian;
f.       pengayaan;
g.      pendidikan;
h.      pelatihan;
i.        penyajian;
j.        penyebarluasan;
k.      revitalisasi;
1.      rekonstruksi; dan
l.        penyaringan.
(2)    Kegiatan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan:
a.      nilai agama;
b.      tradisi, nilai, norma, etika, dan hukum adat;
c.      sifat kerahasiaan dan kesucian unsur-unsur budaya tertentu yang dipertahankan
         oleh masyarakat;
d.      kepentingan umum, kepentingan komunitas, dan kepentingan kelompok dalam
         masyarakat;
e.      jatidiri bangsa;
f.       kemanfaatan bagi masyarakat; dan
g.      peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a.      mencatat, menghimpun, mengolah, dan menata informasi kebudayaan;
b.      registrasi;
c.      pendaftaran atas hak kekayaan intelektual;
d.      legalitas aspek budaya;
e.      penelitian; dan
f.       penegakan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10

Pengembangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat  (1) dapat dilakukan melalui:
a.      kajian;
b.      penelitian;
c.      diskusi;
d.      seminar;
e.      workshop;
f.       eksperimen; dan
g.      penciptaan model-model baru.

Pasal 11

(1)    Kegiatan pengembangan kebudayaan selain memperhatikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) juga wajib mempertahankan akar budaya yang dimiliki dan  tidak dimaksudkan untuk mengganti unsur-unsur budaya yang sudah ada.
(2)    Kegiatan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal            10        yang mengakibatkan terjadinya kerusakan, kehilangan, atau kemusnahan aspek kebudayaan harus didahulul dengan penelitian.
(3)    Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi  pemerintah, dan/atau perorangan, lembaga swasta, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

Pemanfaatan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dapat dilakukan melalui:
a.      penyebarluasan informasi;
b.      pergelaran budaya;
c.      pengemasan bahan ajar;
d.      pengemasan bahan kajian; dan
e.      pengembangan wisata.

Pasal 13

Inventarisasi, pendokumentasian, dan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan melalui transliterasi, alih aksara, revitalisasi, digitalisasi, pencatatan, dan registrasi dengan tetap mempertahankan keasliannya.

Pasal 14

(1)    Kegiatan Inventarisasi, pendokumentasian, dan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat dilakukan oleh pihak asing setelah memperoleh izin  dari pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi dari instansi terkait.
(2)    Hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diserahkan tembusannya kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat tempat dilakukannya kegiatan.

Pasal 15

(1)    Penggalian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dan huruf e, dilakukan melalui ekskavasi, pemetaan, pengamatan lapangan, studi kepustakaan, dan wawancara.

(2)    Penggalian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau lembaga asing maupun nasional setelah  memperoleh izin dari pejabat yang berwenang berdasarkan rekomendasi dari instansi terkait.
(3)    Hasil ekskavasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada  Pemerintah dengan tembusan kepada Pemerintah Daerah setempat.
(4)    Benda temuan hasil ekskavasi sehagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah menurut kepentingannya.

Pasal 16

(1)    Pengayaan, pendidikan, dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat huruf f, huruf g, dan huruf h dilakukan melalui bimbingan teknis, seminar, simposium, atau lokakarya.
(2)    Bimbingan teknis, seminar, simposium, dan lokakarya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara formal melalul institusi pendidikan maupun secara informal melalui keluarga, masyarakat, sekolah, dan media massa.

Pasal 17

Penyajian, penyebarluasan, dan revitalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i, huruf j, dan huruf k dilakukan melalui media cetak, media elektronik, laman (website), peragaan, atau pameran.

Pasal 18

(1)    Penyaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal        8 ayat  (1) huruf m dilakukan melalui pemilahan dan pemilihan aspek kebudayaan.
(2)    Pemilahan dan pemilihan aspek kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan norma, etika, dan tradisi yang berlaku di masyarakat.


BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 19

(1)    Masyarakat berperan serta dalam pelestarian kebudayaan.
(2)    Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui perorangan, organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan (lembaga adat,
masyarakat adat, desa, kelompok, perkumpulan, perhimpunan, atau yayasan),
dan/atau forum komunikasi kebudayaan di provinsi, kabupaten/kota, dan desa.
(3)    Peran serta masyarakat serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      berperan aktif dalam menanamkan pemahaman kebhinnekaan, memperkokoh  jati diri bangsa, menumbuhkan kebanggaan nasional, dan mempererat persatuan
         bangsa;
b.      berperan aktif dalam mengembangkan kebudayaan melalui dialog, temu budaya, sarasehan, dan lain sebagainya; dan
c.      memberikan masukan dan membantu kepala daerah dalam pelestarian kebudayaan.

BAB V
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 20

(1)    Perselisihan dalam pelestarian kebudayaan antarperorangan, antarorganisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan, dan/atau forum komunikasi masyarakat kebudayaan diselesaikan secara musyawarah para pihak.

(2)    Musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui mediasi dan rekonsiliasi.
(3)    Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tercapai, bupati/walikota atau gubernur dapat memfasilitasi proses penyelesaian perselisihan.
(4)    Dalam hal musyawarah dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak tercapai penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui proses peradilan.

Pasal 21

(1)    Perselisihan dalam pelestarian kebudayaan antarpemerintah kabupaten/kota dalam satu provinsi dan antar provinsi diselesaikan secara musyawarah.
(2)    Dalam hal musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan antar kabupaten/kota sebagalmana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai diselesaikan oleh gubernur.
(3)    Dalam hal musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan antar provinsi  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, diselesaikan oleh Menteri Dalam  Negeri setelah mendapat rekomendasi tertulis dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
(4)    Penyelesaian oleh gubernur dan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) bersifat final dan mengikat.


BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 22

(1)    Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelaksanaan pelestarian kebudayaan di daerah.
(2)    Pembinaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengoordinasikan gubernur dalam pelaksanaan pelestarian kebudayaan.
(3)    Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelaksanaan pelestarian kebudayaan di kabupaten/kota;
(4)    Bupatl/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelaksanaan pelestarian kebudayaan di desa;

Pasal 23

(1)    Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melakukan pembinaan dan pengawasan teknis atas pelaksanaan pelestarian kebudayaan di daerah.
(2)    Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      kebijakan pelestarian kebudayaan;


b.      pemberian bimbingan, konsultasi, supervisi tentang norma, standar, prosedur, dan kriteria pelestarian kebudayaan; dan
c.      inventarisasi, dokumentasi, dan publikasi warisan budaya.
(3)    Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat             (1) dilakukan dengan memantau dan mengevaluasi terhadap pelestarian kebudayaan.


BAB VII
PELAPORAN

Pasal 24

(1)    Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan dan pembinaan pelestarian kebudayaan di kabupaten/kota kepada gubernur.
(2)    Gubernur melaporkan pelaksanaan dan pembinaan pelestarian kebudayaan di  provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
(3)    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika diperlukan.


BAB VIII
PENDANAAN

Pasal 25

Pendanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pelestarian kebudayaan secara nasional didanai dari dan atas beban:
a.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
b.      Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 26

(1)    Pendanaan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelestarian kebudayaan di provinsi dapat didanai dari dan atas beban:
a.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi; dan
c.      Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesual dengan ketentuan perundang-undangan.
(2)    Pendanaan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelestarian kebudayaan di kabupaten/kota dapat didanal dari dan atas beban:
a.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; dan  
c.      Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Pada saat berlakunya Peraturan Bersarna ini, kebijakan daerah berkaitan dengan
pelestarian kebudayaan disesuaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.


Pasal 28

Peraturan Bersama ini mulal berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal  16 September 2009


MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,          MENTERI DALAM NEGERI,



                           JERO WACIK                                             H. MARDIYANTO



































PERATURAN BERSAMA
MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

NOMOR : 43 TAHUN 2009
NOMOR: 41 TAHUN 2009
TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN
TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,

Menimbang
:
a.             
bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu modal sosial dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya yang lahir dan tumbuh dari leluhur Bangsa Indonesia;


b.             
bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warga negara Republik Indonesia, berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya;


c.             
bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, pemerintah daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan nilai sosial budaya;


d.             
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
Mengingat
:
1.             
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);


2.             
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana beberapa kali telah diubah,  terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);


3.             
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia        Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara    Republik Indonesia Nomor 4674);


4.             
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);


5.             
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3350);


6.             
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007  Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4736);
MEMUTUSKAN:




Menetapkan
:
PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI DAN  MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TENTANG PEDOMAN PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan:
1.    Pelayanan adalah layanan diberikan oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah  kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan administrasi organisasi, pemakaman, dan sasana sarasehan atau sebutan lain.
2.    Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
3.    Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4.    Organisasi Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat Kepercayaan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri dan terinventarisasi di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
5.    Sasana Sarasehan atau sebutan lain adalah tempat untuk melakukan kegiatan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk kegiatan ritual.
6.    Tanda Inventarisasi adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah terinventarisasi pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
7.    Surat Keterangan Terdaftar selanjutnya disingkat SKT adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan.
8.    Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II
LINGKUP PELAYANAN
KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN

 

Pasal 2

(1)  Pemerintah Daerah memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(2)  Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    administrasi organisasi Penghayat Kepercayaan;
b.    pemakaman; dan
c.    sasana sarasehan atau sebutan lain.

Pasal 3
Dalam memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pemerintah  provinsi berkewajiban:
a.   memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan masyarakat;
b.   menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;
c.   mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat.

Pasal 4
Dalam memberikan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pemerintah  kabupaten/kota berkewajiban:
a.    memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;
b.    menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat;
c.    mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah di kabupaten/kota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan; dan
d.    fasilitasi pemakaman Penghayat Kepercayaan di tempat pemakaman umum.

BAB III

PELAYANAN ADMINISTRASI ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN


Pasal 5
(1)  Gubernur menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan untuk provinsi.
(2)  Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut:
a.    akte pendirian yang dibuat oleh Notaris;
b.    program kerja ditandatangani ketua dan sekretaris;
c.    Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah nasional atau sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d.    SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;
e.    Foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
f.     Riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto copy  Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus provinsi yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1 lembar:
g.    formulir isian;
h.    data lapangan;
i.      foto tampak depan dengan papan nama alamat kantor/sekretariat;
j.      Nomor Pokok Wajib Pajak;
k.    Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan camat;
l.      surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;
m.   surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris; dan
n.    surat keterangan bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris.

Pasal 6
(1)  Bupati/walikota menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan untuk kabupaten/kota.
(2)  Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut:
a.    akte pendirian yang dibuat oleh Notaris;
b.    program kerja ditandatangani ketua dan sekretaris;
c.    Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah nasional atau sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d.    SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;
e.    foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
f.     riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto copy  Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus provinsi yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1 lembar:
g.    formulir isian;
h.    data lapangan;
i.      foto tampak depan dengan papan nama alamat kantor/sekretariat;
j.      Nomor Pokok Wajib Pajak;
k.    Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan camat;
l.      surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;
m.   surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris; dan
n.    surat keterangan bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris.
 
Pasal 7
Surat Keterangan Terinventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dan Pasal 6 ayat (2) huruf d diajukan oleh pengurus organisasi kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melalui dinas/lembaga/unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi menangani kebudayaan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:
a.    formulir isian A, A1, dan A2;
b.    AD / ART;
c.    ajaran tertulis;
d.    susunan pengurus;
e.    daftar nominatif anggota;
f.     program kerja; dan
g.    riwayat hidup sesepuh.

BAB IV
PEMAKAMAN

Pasal 8
(1)  Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum.
(2)  Dalam hal pemakaman Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum.
(3)  Lahan pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disediakan oleh Penghayat Kepercayaan.
(4)  Bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menjadi pemakaman umum.

BAB V
SASANA SARASEHAN ATAU SEBUTAN LAIN

Pasal 9
(1)    Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain didasarkan atas keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi Penghayat Kepercayaan.
(2)    Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan.

 

Pasal 10

Sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan.

Pasal 11
(1)  Penghayat Kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan untuk penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain dengan bangunan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) kepada Bupati/Walikota.
(2)  Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya permohonan pendirian sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 12

(1)  Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lainnya yang telah mendapat ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mendapat penolakan dari masyarakat, Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan dimaksud.
(2)    Dalam hal fasilitasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terlaksana, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sasana sarasehan atau sebutan lain.

Pasal 13

Bupati/Walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung  sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 14
(1)  Perselisihan antara Penghayat Kepercayaan dengan bukan Penghayat Kepercayaan  diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat antar kedua belah pihak.
(2)  Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, gubernur atau bupati/walikota memfasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)  Dalam hal fasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui proses peradilan.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 15
(1)    Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan umum atas pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(2)    Pembinaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengoordinasikan gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(3)    Pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memantau gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.

Pasal 16
(1)    Menteri Kebudayaan dan Pariwisata melakukan pembinaan dan pengawasan teknis atas pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(2)   Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    pemberian pedoman;
b.    pemberian bimbingan teknis, konsultasi, supervisi; dan
c.    dokumentasi dan publikasi.
(3)  Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemantauan dan evaluasi terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan.
 
Pasal 17
Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bupati/walikota dalam pelayanan Penghayat Kepercayaan.

BAB VIII
PELAPORAN

Pasal 18
(1)  Bupati/walikota melaporkan tugas pelayanan Penghayat Kepercayaan di kabupaten/kota kepada gubernur.
(2)  Gubernur melaporkan tugas pelayanan Penghayat Kepercayaan di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
(3)  Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

BAB IX
PENDANAAN

Pasal 19
(1)  Pendanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan secara nasional didanai dari dan atas beban:
a.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
b.    sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2)  Pendanaan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan di provinsi dapat didanai dari dan atas beban:
a.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi; dan
b.    sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(3)  Pendanaan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan Penghayat Kepercayaan  di kabupaten/kota dapat didanai dari dan atas beban:
a.   Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; dan
b.   Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan terhadap Penghayat Kepercayaan di provinsi diatur dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Bersama ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.

Pasal 21
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
                                                        pada tanggal 16 September 2009  


MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,            MENTERI DALAM NEGERI,
           
ttd                                                                                                                                   ttd



Tidak ada komentar: